KEBON PEWARNA ALAM MATA TULU DEO – DISPONSORI CONNECT INDONESIA

CERITA HATI KAMI, SUKA DAN DUKANYA (ditulis oleh Nelly Andon) 
Pertama kami dikenalkan dengan kelompok tenun Mata Tulu Deo oleh ibu Mery Mesakh, di tahun 2015, dimana ibu Mery (pelestari budaya tenun dan pengusaha di Kupang) membantu kami untuk menyebarkan kacamata kepada para penenun di kelompok tersebut. Ama Tobo adalah salah satu pembina kelompok Mata Tulu Deo.

Si Adek kecil ini adalah salah satu anak dari empat bersaudara dari bapak  Tobias Lomi Ratu (sehari-harinya di panggil ama Tobo), beneficiary dari project pewarna alam yang beberapa hari yang lalu kami selesaikan di kebun milik beliau di Kupang.  Si adek ini (masih balita) dan ketiga saudaranya, yang masih duduk dibangku sekolah, telah menggugah hati kami ketika kami berkunjung disana ditahun 2017.  Melihat situasi dan kondisi dimana mereka tinggal dan menghabiskan waktu sebagai keluarga setiap harinya, dalam sebuah kamar ukuran kecil, membuat hati kami luluh dan sedih.

Terus terang, ketika pertama kali kami membuat sebuah postingan mengenai Ama Tobo di Facebook dan bercerita atas keprihatinan kami mengenai kondisi hidup mereka, banyak yang mengomentari bahwa di NTT kehidupan keluarga ama Tobo itu tidak “dikategorikan” dibawah standard, itu normal, dan masih banyak lagi orang yang hidup lebih miskin dari mereka. Tentu, itu sangat betul kalau dilihat kita melihat kebawah standar, karena kami sudah mengililingin hampir 90% wilayah NTT dan koneksi dengan penenun yang sangat miskin dan tidak berpendidikan di wilayah Indonesia bagian timur ini, jadi kami sangat paham akan hal itu.

Namun ada sesuatu yang membuat hati kami lebih luluh, bukan hanya karena kondisi hidup mereka saat itu, namun kemapuan dan keahlian beliau yang luar biasa, dimana kain-kain yang beliau tenun telah dimiliki orang-orang beken sipelosok dunia, namun beliau dan keluarganya masih hidup dalam sikon yang sama dari tahun ke tahun.

Awal-awalnya, kami menawarkan untuk merapikan dan mebenahi sebuah area kecil di beranda (halaman) depan dimana ama Tobo dan para penenun lainya menghabiskan waktu bertenun dan konon tempat ini sering di kunjungi tamu-tamu pencinta kain Sabu. Kami melihat area itu butuh sedikit pembenahan, agar tamu2 yang datang kesana nanti bisa merasa betah dan akan kembali lagi untuk membeli kain2 yang mereka tenun.  Kami membayangkan bahwa biaya untuk membenahi (menyemen dan mencat) beberapa sisi dinding area itu tidak akan makan biaya yang menghancurkan ekonomi kehidupan kami, maka kami menganjurkan hal ini. Namun, sangat disayangkan, komunikasi kami dengan orang yang memiliki wewenang untuk kelanjutan project ini sangat tersendat-sendat, karena terus terang, komunikasi dari London, Inggris, saya sebagai project manager, hanya bisa saya lakukan itu dengan WhatsApp alias WA. Kecewa, hampir setahun kami mencoba untuk melanjutkan niat itu, akhirnya niat itu tidak bisa terlaksana namun kami tidak putus asa.

Keahlian beliau dalam melestarikan kain Sabu dari motif traditional dan pewarna alam, sekalipun beliau sekarang domisili di Kupang, sangat kami hargai. Kami menyadari bahwa beliau adalah seniman yang luar biasa dimana karya2 beliau sudah dijual oleh dealer kain besar Indonesia dan juga diluar negeri.  Namun keahlian beliau sebagai pemandu dan pengajar selama ini masih hanya dipamerkan dalam pameran wisata kain local di Kupang, dan mungkin satu dua pameran di luar Kupang, tentunya hal ini  sangat keren dan membantu untuk memberikan ama Tobo kesempatan untuk menjual kain-kain yang dibuatnya.

Melihat bangkitnya kembali pewarna alam saat ini, dan kurangnya pemandu yang sangat berbakat dengan pengalaman tinggi seperti ama Tobo, membuat kami mencoba untuk berbakti mempromosikan beliau dan kain-kain yang ditenunya.  Waktu itu ama Tobo menceritakan bahwa beliau dan keluarganya memiliki sebidang tanah yang tidak digunakan sebagai lahan pertanian, karena lokasi yang berbatu. Dari tahun 2017, kami mencoba berkomunikasi intensive dengan ama Tobo, melalui WA.  Beliau sangat gesit berkomunikasi dengan WA, cepat sekali merespon pertanyaan kami yang kami lontarkan ke Beliau. Dengan semangatnya yang luar biasa, semangat kamipun tumbuh, akhirnya mengajukan secara lisan untuk membantu dia membangun sebuah kebun pewarna alam lahir.

Membangun sebuah project kasih sayang seperti ini, bukanlah hal yang mudah, banyak pengorbanan, dan kendala serta makian yang mungkin menghancurkan semangat kita untuk berkarya di Nusantara. Namun kita harus tetap tegar dan menjunjung tinggi misi dan visi yang kita tanamkan dalam jiwa kita.

Setelah hampir tiga tahun berencana, menganalisa, meneropong jauh ke depan apa dan mengapa, maka pada bulan Juni 2019 lalu kami dari team Connect Indonesia tiba di Kupang dengan semangat dan harapan yang luar biasa, dimana kami bersama-sama keluarga ama Tobo, akan meletakkan batu fondasi pertama pondok Kebun Mata Tulu Deo.  Semua kami lakukan turun tangan, dari pesan semen langsung dari toko, pesan batu kerikil dari pinggir jalan di Kupang, mencari supplier pasir, mengatur makan siang para team yang bekerja keras, 3 hari kami habiskan disana bersama tukang, bercengkrama dengan mereka memberi mereka semangat, karena kami sangat ingin project ini menjadi kenyataan, PRESTO!! Fondasi pondok dan fondasi untuk tanki air berhasil kami bangun dalam waktu tiga hari. Masih ingat pada hari ketiga, kami bersama teman-teman lain berkunjung ke kebun itu, duduk diatas tikar yang digelar diatas fondasi, kami sangat terharu.  Dari situ, rencan-rencan berikut, seperti kerangka pondok, atap pondok, tanki air, dan lain2nya kami lanjutkan sedikit demi sedikit, dipandu secara rutin dari London dan Kupang. Sangat salut dengan dermawan kami Olvira Ballo, yang penuh dedikasi membantu menangani banyak hal selama pembangunan pondok ini.

Sebagai pencinta budaya kain Indonesia, cita-cita kami untuk membantu ama Tobo membangun kebun perwarna alam itu adalah memberikan kesempatan untuk ama Tobo lebih maju lagi dan secara ekonomi bisa bangkit dan menyekolahkan anak-anaknya dengan baik dan menjadi anak yang berguna untuk bangsa suatu saat nanti, kami sangat percaya itu akan bisa beliau lakukan.  Kami juga bercita-cita, kiranya ama Tobo bisa menjadi motivator dan pahlawan penyelamat budaya, membangkitkan dan melestarikan pemakaian  warna alam, mengajari penenun-penenun dari daerah lain, untuk bisa kembali ke warna alam dan bisa maju Bersama-sama. Membuka kebun Mata Tulu Deo untuk para penenun yang mau belajar disana, itu harapan kami.

Kami ingin juga mengundang publik untuk berkunjung ke kebon Mata Tulu Deo, belajar mengenai tanaman pewarna alam disana, melihat langsungproses pembuatanya, sekaligus belanja membeli kain-kain yang dibuat dari warna alam oleh para penenun dari kelompok Mata Tulu Deo. Akhir-akhir ini sering kami sebagai pencinta kain dan budaya, sangat kecewa, dimana banyak kain2 yang diwarnai dengan syntetis diakui sebagai kain warna alam, sedangkan kalau penenunya ditanya mengenai bahan-bahan tanaman yang digunakan, mereka tidak bisa menjawab dengan baik, jadi banyak dusta yang menodai proses tenun dari pewarna alam di Nusantara.

Kebanggaan yang sangat luar biasa yang kami alami setelah pondok ini berdiri, sekalipun pondok itu belum kami umumkan buka, dan kami masih dalam pembenahan akhir untuk membantu ama Tobo mengumumkan: dibuka secara resmi, project ini sudah tercium oleh pengusaha-pengusaha local di Kupang, dan telah memberi mereka semangat besar untuk menjalin mitra usaha dengan ama Tobo. Alangkah bangganya kami, Pondok Mata Tulu Deo, telah mampu menjadi magnet yang luar biasa  dan suatu saat nanti bisa bermitra dengan lebih banyak lagi pengusaha local di NTT.  Dalam dua minggu terakhir ini, Pondok Mata Tulu Deo telah di publikasi beberapa pihak, bahkan video-video sudah ditayangkan dengan terciptanya kebon warna alam ini, sekalipun keterlibatan kami sebagai sponsor tidak pernah disebut dalam kunjungan itu, namun kami tulus dan merasa kami telah berbuat yang terbaik yang bisa kami subangkan untuk membangun NTT.

Kalau project sederhana seperti kebun pewarna alam Mata Tulu Deo ini bisa menjadi magnet menggaet dan menginspirasi pengusaha local untuk berpartisipasi melestarikan budaya dan meningkatkan ekonomi daerah, mungkin pemerintah bisa menciptakan ribuan project-project kecil seperti ini diseluruh Nusantara? YES THEY CAN. Dengan biaya dibawah 100 juta (hanya senilai dari tas tangan pengusaha2 besar di negeri ini), itu bisa dilakukan.

Sukses selalu untuk Ama Tobo dan keluarga dan kepada semua pemerhati budaya di Nusantara.

Salam budaya dari kami team Connect Indonesia.

Trimakasih kami kepada Olvira Ballo, Tara Pakpahan yang tetap setia menjadi team Connect Indonesia menekuni project ini.  Kepada Thomas Welem, Mahari, pak Leo dan yang lainya, yang ikut membuat pondok ini jadi kenyataan. God bless us all.

 

 

 

 

error: Content is protected !!